Minggu, 04 April 2010

Seputar tentang Tukang Sayur

Tukang Sayur
By : Annisa Febrinel Hendry
Sabtu, 21 November 2009
09.30 WIB

Seperti biasanya, kalau aku gak kuliah pagi, aku menunggu bapak tukang sayur yang selalu lewat di depan rumah tanteku. Untuk membeli apa yang akan ku masak hari itu. Biasanya bapak itu lewat sekitar jam 07.30 – 08.00 pagi. Tadi jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00, tapi teriakan bapak itu tak kunjung terdengar. Mungkin gak datang kali ya? Pikirku mengira- ngira. Akhirnya aku kembali ke kamarku.
Tiba- tiba hp ku bergetar. Ternyata mamaku nelpon. Sejak aku kuliah di UIN Jakarta ini, aku tinggal di rumah tanteku, adek mama, di perumahan Gria Jakarta Pamulang, Tangerang Selatan. Jadi aku jauh dari mama. Cuma lewat telponlah aku bias berbagi cerita sama mama.
Kemudian aku menceritakan ke mama kalau aku ada tugas membuat feature (roman) dari FLP. Feature adalah sejenis tulisan yang merupakan gabungan antara berita dengan karya fiksi seperti novel. Karangan harus fakta, tapi gaya penulisannya ada dialog seperti novel. Untuk membuatnya, tentu kita harus mewawancarai seorang nara sumber. Biasanya feature mengangkat cerita tentang orang kecil, seperti tukang sayur, tukang sol sepatu, pemulung, tukang sampah, pedagang kaki lima, dan lain sebagainya. Tugas ini sudah diberikan minggu lalu, dan dikumpulkan hari ini jam 1. Aku baru sempat membuatnya sekarang, karena hari Sabtu aku libur. Aku pun minta saran sama mama, aku sabaiknya mewawancarai siapa? Aku bilang aku mau mewawancarai tukang sayur, tetapi tukang sayurnya belum datang, kataku. Ya udah, tunggu aja dulu, saran mamaku.
Setengah jam kemudian, terdengar suara yang tidak asing lagi bagiku.
“Sayuuuur…sayuuuur…..!”
“Ahaaa, ini dia suara yang aku tunggu –tunggu,” gumamku dalam hati sambil tersenyum. Aku pun langsung beranjak dari tempat tidurku dan mengambil uang belanjaan.
Di seberang rumah tanteku, gerobak sayur bewarna biru milik bapak itu telah dikerubungi oleh ibu- ibu yang ingin belanja.
Hari ini aku ingin membeli teri kecil berwarna putih dan kacang tanah. Karena kalau dua-duanya aku “balado” in, biasanya laris dimakan adek – adek sepupuku.
“Berapa neng? 2 atau 3 kilo?” tanya bapak itu bercanda.
“Gak, Pak, aku butuh 5 kilo, he he…,” jawabku gak mau kalah. Bapak itu pun tersenyum.
Kemudian aku mengambil kacang tanah. Setelah itu aku membayarnya ke bapak itu. Sambil menyerahkan uang Rp14.000,00, aku bertanya beliau,
“Pak, boleh gak aku mewawancarai Bapak?
“Boleh,” jawabnya.
“ Tunggu ya Pak, aku ambil buku dan pensil dulu ke rumah.” kataku.
Tak berapa lama kemudian aku kembali dengan membawa buku dairy ku.
Sementara itu, ibu-ibu dan mbak-mbak yang sedang berbelanja tertawa melihat ulahku yang udah kayak wartawan aja.
Sambil melayani ibu- ibu yang sedang berbelanja, bapak itu pun menjawab pertanyaanku.
Bapak itu bernama Pak Sirwan, umur beliau sudah lebih setengah abad, 56 tahun. Aku kaget sekali, ketika beliau mengatakan kalau beliau belanja sayur ke pasar Cimanggis jam 12.00 malam. Mungkin waktu itu kita sedang tertidur nyenyak. Sementara beliau harus berbelanja sampai jam 03.00 pagi. Trus jam 04.30 beliau sudah berangkat dari rumahnya di Gang Buaran dekat danau, Sasak menuju perumahn Gria Jakarta. Jarak yang sangat jauh menurutku. Mungkin ada sekitar 3-5 km. Apalagi beliau haru mendorong gerobak yang penuh berisi sayuran.
“ Bapak lewat jalan pintas ya, Pak?” tanyaku.
“ Gak Neng, saya lewat jalan raya.” jawabnya.
Tak bisa aku membayangkan bagaimana bapak itu mendorong gerobaknya melewati jalan raya . Pasti susah sekali, karena banya kendaraan. Tetapi demi menghidupi istri dan anaknya, beliau rela membanting tulang.
Tidak hanya itu saja, kadang beliau gak tidur habis berbelanja.
“Ne Neng saya terkantuk- kantuk sekarang, karena gak tidur semalaman,” cerita bapak itu
Masya Allah, gumamku dalam hati. Aku terharu banget mendengar bapak itu.
Bapak itu mempunyai seorang istri, 4 anak, dan 4 cucu. Istrinya cuma ibu rumah tangga. Tiga anaknya sudah berumah tangga. Sementara putri sulungnya masih kelas 1 SMA. Jadi sang bapak tinggal membiayai sekolah anak bungsunya ini. Walaupun sudah berunur gini, beliau tetap semangat mendorong gerobaknya setiap subuh. Bapak itu berjual- beli sehari sekitar 2 juta. Setelah dibelanjakan lagi kira- kira beliau mendapatkan 100 ribu per hari.
Walaupun hujan, beliau memakai mantel, mengelilingi perumahan Gria Jakarta. Tak jarang juga beliau menghadapi ibu- ibu dan mbak- mabak cerewet, tapi beliau tetap sabar. Jam 12.00 siang, beliau baru pulang ke rumahnya. Dan baru bisa tidur. Aku tak bias membayangkan seberapa capeknya beliau.
Kini aku baru sadar, beliau sangat berjasa sekali terhadap semua penghuni perumahan gria. Kalau tidak ada beliau, pasti kami akan kerepotan mencari apa yang akan dimasak tiap hari. Terima kasih Pak Sirwan, tukang sayur penghuni perumahan gria.

Selamat Membaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makasih ya udah baca blog icha :)
silahkan komentar yaaa :)